Suatu hari saya bertemu seorang teman yang membantu temannya, seorang anggota DPR RI, yang mau naik lagi di pileg mendatang. Teman saya ini bertugas mencari KTP sebagai bukti dukungan bagi calon yang memang jadi salah satu persyaratan. Setahu saya, untuk pemilu lalu harus didukung 2.000 orang beserta bukti KTP-nya. Entahlah pemilu mendatang.
Kekagetan saya muncul ketika mendengar siasat teman dalam mengumpulkan KTP. Rupanya ada cara instant yang mudah ditempuh.
“Sudah terkumpul 1.000 foto copy KTP sekarang. Tinggal melengkapi dari 3 kabupaten lain,” katanya bercerita kepada saya. Dapil saya terdiri dari 4 kabupaten. Berarti dari satu kabupaten sudah terkumpul 1.000 lembar foto copy KTP. Woow…cepat banget kerjanya.
“Gimana ngumpuinnya, kok cepat begitu?,” selidik saya.
“Gampang. Saya Cuma menghubungi satu birokrasi [mohon maaf saya rahasiakan nama birokrasinya]. Di birokrasi itu banyak banget foto copy KTP. Karena setiap orang yang berurusan dengan birokrasi itu pasti menyertakan foto copy KTP. Saya tinggal bekerjasama dengan orang dalam. Tentu nanti orang dalam itu dapat fee,” sangat detail teman saya bercerita.
“1.000 KTP sudah saya serahkan sama si politisi itu,” ujarnya lagi sebelum keheranan saya habis. Saya tetap termangu. Pikiran saya berkelana. Sejak dari proses, sejak dari yang “kecil”, ternyata para [calon] politisi sudah menghalalkan segala cara.
KTP Tak Bertuan
Aturan yang mensyaratkan ada dukungan beserta bukti KTP-nya tentu bermaksud baik. Seorang [calon] politisi yang mendaftar diharapkan memiliki dukungan basis yang kuat. Atau seorang [calon] politisi setidaknya dikenal oleh konstituennya. Karena jika betul-betul dilakukan secara fair, minta dukungan beserta satu lembar foto copy KTP butuh dialog. Prosesnya juga tidak mudah, karena yang punya KTP pasti memberi syarat tertentu, mulai dari yang “beneran” hingga minta imbalan.
Pemilik KTP juga punya otoritas untuk mendukung atau tidak. jika suka, ia akan menyerahkan KTP bahkan secara gratis, jika tidak suka tentu ia akan menolak. Pemilik KTP akan berpikir panjang tentang rekam jejak calon politisi. Soal dukungan bukan hanya soal foto copy selembar KTP. Lebih jauh, dukungan berarti memberi kepercayaan kepada seseorang. Inilah seharusnya yang fair, yang harus dipertimbangkan oleh [calon] politisi.
Tapi sayang. Rupanya [calon] politisi kita tidak sabaran. Makanya jalan yang ditempuh instant. Kasus di atas menjadi bukti, bahwa [calon] politisi telah membabat habis komunikasi dengan basisnya. Dengan meminta kepada birokrasi, [calon] politisi telah mendapat dukungan dengan bukti “KTP tak bertuan”.
Sebenarnya bukan sekedar putus dengan basisnya. Si [calon] politisi [termasuk birokrasinya] secara substantive telah menghianati konstituen, karena ribuan foto copy KTP yang diminta sama birokrasi, tanpa sepengetahuan dan tanpa memperoleh persetujuan dari pemiliknya. Saya hanya mengelus dada. Baru mendaftar saja sudah menghianati rakyat, apalagi…
Memang sebelum calon ditetapkan, ada verifikasi yang dilakukan KPU/KPUD terhadap nama-nama pemilik KTP yang mendukung. Tetapi saya sangsi, KPU/KPUD bisa menjalankan tugasnya secara maksimal. Meski dilakuan secara acak, memverifikasi KTP akan lebih banyak diabaikan, karena dianggap pekerjaan “kecil”. Maaf ini hanya dugaan saya saja.
Yang bisa kita lakukan, kita perlu hati-hati dengan KTP kita. Rupanya menjelang pemilihan, harga politik KTP demikian tinggi. Bahkan tak jarang diselewengkan.
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 24 Oktober 2012
